Sabtu, 15 Oktober 2016

MENGAPA BUDAYA PENTING BAGI EKONOMI



Usaha mencari faktor-faktor penentu keberhasilan (determinant factors) pembangunan ekonomi suatu bangsa dan negara telah lama menjadi fokus perhatian banyak kalangan. Sejumlah teori dan pendekatan dikembangkan untuk menjawab pertanyaan kunci yaitu; ‘Mengapa ekonomi suatu negara lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan negara lain?’. Dimana turunan dari pertanyaan besar di atas adalah ‘Faktor apakah yang paling determinant untuk menjelaskan keberhasilan dan kemajuan perekonomian suatau negara?’. Dua pertanyaan tersebut telah menjadi pusat kajian, penelitian dan perdebatan tidak hanya ekonom tetapi juga melibatkan sejumlah disiplin ilmu non-ekonomi seperti sosiologi, antropologi, sejarah, ahli statistik, filsafat dan bahkan ilmu budaya. Hal ini membuat kajian terkait hal ini tidak hanya terfokus pada analisa faktor-faktor ekonomi (endogen) tetapi juga melihat dampak dari faktor non-ekonomi (eksogen) terhadap tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi di suatu negara.
 Tulisan singkat ini bertujuan untuk memberikan argumentasi dasar tentang pentingnya aspek non-ekonomi yaitu budaya terhadap kinerja perekonomian suatau negara. Seperti kita ketahui bersama, aktivitas ekonomi terjadi tidak di ruang hampa (vacuum) tetapi justeru hadir dalam sebuah konteks, struktur dan sistem sosial bermasyarakat. Corak dan jenis aktivitas ekonomi akan sangat tergantung bagaimana struktur dan sistem yang berada di masyarakat. Bagaimana aktor-aktor ekonomi saling berinteraksi akan sangat tergantung pada kualitas dan kapabilitas dari para aktor ekonomi. Begitu juga tata aturan dan regulasi yang mengatur aktivitas ekonomi juga akan sangat tergantung pada bagaimana kualitas pengambil kebijakan (policy-makers), sistem nilai dan norma yang dianut, dan struktur kognitif masyarakat yang pada akhirnya akan menentukan mana regulasi yang benar dan tidak. Selain itu, aktivitas perekonomian juga akan sangat dipengaruhi oleh faktor endowment tidak hanya yang fisik dan tangible tetapi juga yang non-fisik dalam sistem nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat setempat.
 Budaya sebagai konstruk penting yang akan menentukan maju tidaknya sebuah sistem perekonomian. Tidak hanya makro-ekonomi, di tingkat mikro-ekonomi terutama penelitian di level organisasi perusahaan juga menempatkan budaya sebagai faktor kunci penentu kinerja dan daya saing perusahaan. Sampai saat ini, terdapat banyak sekali dan bahkan tidak terhitung jumlahnya akan publikasi dan seminar ilmiah yang mendokumentasikan peran budaya terhadap kinerja perusahaan. Budaya yang mendorong munculnya inovasi, kewirausahaan, kepemimpinan, kerjasama, koordinasi, customer-oriented, dan merit-system menjadi beberapa contoh budaya yang secara signifikan meningkatkan kinerja perusahaan baik di tingkat usaha mikro, kecil, menengah, besar dan bahkan multinational company (MNC). Oleh karenanya, tidaklah mengherankan apabila faktor budaya menjadi fokus perhatian dewasa ini untuk menjadi faktor penting pendorong kemajuan perekonomian suatu bangsa dan negara.
 Arti Penting Budaya
 Gagasan pentingnya budaya (culture) bagi maju dan berkembangnya perekonomian sesungguhnya bukanlah ide baru. Pada awal-awal pemeikiran tentang ekonomi, aspek dan faktor budaya dianggap sangat penting bagi ekonomi suatau negara. Misalnya, Weber (1904) melihat bahwa salah satu komponen penting dalam budaya yaitu nilai-nilai religiusitas berperan penting bagi akumulasi kapital[1]. Reformasi dan etika protestan sebagai gerakan tidak hanya keagamaan tetapi penanaman nilai-nilai baru bagi masyarakat Eropa diyakini telah berkontribusi dalam menjelaskan mengapa banyak negara Eropa mengalami kemajuan di bidang ekonomi. Bahkan kalau kita telusuri tulisan klasik dari Adam Smith baik dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) maupun The Theory of Moral Sentiments (1791) menyatakan bahwa nilai dan norma baik yang terdapat dalam diri individu maupun masyarakat sangat memengaruhi perilaku ekonomi (economic behaviour)[2].  
Selain itu juga, kurang minatnya banyak ekonom pada saat itu tentang aspek budaya sebagai faktor determinan penentu keberhasilan pembangunan ekonomi juga dikarenakan pengertian dan definisi budaya yang sangat beragam, luas dan kurang presisi (vague) (Guiso et al., 2006). Selain itu juga, kesulitan metodologis dalam menentukan hubungan sebab-akibat secara matematika-statistik juga menjelaskan mengapa minat banyak ekonom berkurang dalam menganalisa busaya sebagai variabel penjelas (explanatory variable) keberhasilan pembangunan ekonomi. Namun, seiring dengan munculnya Asian Miracle diakhir tahun 1980-an, banyak kalangan mencoba mempelejari kotribusi aspek budaya dalam menkelaskan keberhasilan negara-negara Asia seperti Jepang, Taiwan, Singapura, Indonesia dan Filipina. 
 Gelombang peminatan akan kajian budaya dan pengaruhnya terhadap perekonomian semakin menguat di dekade setelahnya. Pada tahun 1990-an dan 2000-an muncul bidang peminatan baru untuk menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonomi di sejumlah negara. Bidang peminatan baru tersebut adalah aspek ‘kelembagaan’ (institution). Dimana unsur penting dalam teori-teori institusi adalah aspek kebudayaan (culture) (e.g., Guiso et al., 2006). Dalam persepektif dan teori kelembagaan menjelaskan bahwa tingkat kematangan kelembagaan baik dalam hal ekonomi, politik, keamanan, pendidikan dan kesehatan akan menentukan positif-tidaknya kinerja ekonomi suatu negara. Dalam hal ini, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan an-sich oleh faktor-faktor endogeneous tetapi variabel eksogeneous juga menentukan berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.    
 Ide tentang hal ini sebenarnya bukanlah hal yang berkembang di tahun 1990-an. Jauh sebelumnya banyak ahli yang sudah menyampaikan hal serupa. Misalnya Polanyi et al., (1957) telah menyatakan bahwa ‘The human economy….is embedded and enmeshed in institutions, economic and non-economic. The inclusion of noneconomic is vital’. Aktivitas perekonomian terjadi dalam sebuah konteks besar sistem kelembagaan masyarakat dan mustahil terisolasi darinya. Hal senada juga disampaikan oleh Griffin (1999) yang menyatakan bahwa manusia tidak hidup dan bekerja sendirian dan terisolasi. Mereka tersatukan oleh tatanan masyarakat baik ditingkat keluarga, masyarakat, negara maupun dunia internasional. Mereka bekerjasama, berkompetisi, berproduksi, berkomunikasi, bernegosiasi dan bertransaksi didasari oleh sebuah sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang terepresentasi oleh sistem kelembagaan.
 Dalam hal ini, saya sependapat dengan North (2005) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ dengan ‘institusi’ dalam sebuah masyarakat. Dimana sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ merupakan representasi internal dari pemahaman individu atau kelompok sosial akan suatu hal. Sementara, ‘institusi’ merupakan bentuk fisiknya. Sehingga, bagaimana institusi bekerja, berfungsi dan berkinerja akan sangat ditentukan oleh sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang ada dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Berfungsi secara baik atau tidaknya baik institusi ekonomi maupun non-ekonomi akan sangat ditentukan oleh ketiga sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang dianut oleh masyarakat atau suatu bangsa. Tata aturan, prosedur, mekanisme dan regulasi yang dimiliki oleh ‘institusi’ sangat dipengaruhi oleh sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang diyakini dan diannut baik oleh elit maupun pengambil kebijakan.  
Dalam perspektif yang lain menyebutkan bahwa sistem nilai, norma, dan ‘belief-system’ merupakan elemen penting bagi dimensi ‘budaya’ (Keesing, 1974). ‘Belief’-system’ inilah yang akan menentukan bagaimana masyarakat berpikir, bersikap dan bertindak yang pada akhirnya menentukan segala hal yang disepakati dan dilakukan baik ditingkat individu maupun kolektif-bermasyarakat[3]. Meminjam perspektif teori strukturasi Giddens (1984), kebiasaan dan perilaku yang dianggap wajar dan normal pada akhirnya akan membentuk atau memperkuat ‘belief-system’ baik di tingkat individu maupun masyarakat. Bentuk-bentuk fisik dari apa yang menjadi norma, nilai, dan tingkat-kepercayaan di masyarakat itulah yang menjadi produk-produk budaya. Termasuk di dalamnya bentuk dan jenis institusi yang harus hadir di masyarakat.   
 Nilai-nilai budaya yang di sejumlah literatur dan penelitian empiris dapat meningkatkan kinerja ekonomi baik di level individu, organisasi, perusahaan maupun negara antara lain adalah kerja-keras, kejujuran, kerjasama, saling-percaya (mutual-trust) dan saling menghormati. Nilai-nilai budaya tersebut juga berpengaruh terhadap bagaimana keputusan produksi dan investasi, alokasi sumberdaya dalam sebuah organisasi, inovasi teknologi dan perdagangan internasional. Selain itu juga, nilai-nilai budaya juga dapat mempengaruhi bagaimana keputusan suatu negara terhadap misalnya kebijakan kompetisi, subsidi, program-program sosial, perpajakan, strategi pembangunan dan kebijakan makro-ekonomi lainnya. Banyak sekali penelitian yang menunjukkan biaya transaksi (transaction-cost) akan menjadi lebih murah apabila terdapat trust yang tinggi dalam masyarakat. Hal ini membuat biaya produksi dalam rantai nilai produksi lebih murah dan kompetitif yang menjadikan daya saing suatu bangsa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing terdekat.
 Selain itu juga, Landes (1998) mengkaji ulang untuk menemukan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan pembangunan ekonomi suatu bangsa-negara. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa faktor-faktor budaya merupakan aspek penting dan penentu maju dan mundurnya ekonomi suatu negara. Sejumlah nilai-nilai budaya seperti hemat, kerja keras, persistensi, kejujuran dan toleransi merupakan nilai-nilai budaya yang dapat memajukan ekonomi suatu negara. Hal ini akan kontras ketika nilai-nilai budaya negatif justeru yang berkembang adalah rasialisme, intoleransi, birokratis, korupsi, dan penguatan negara (state) yang menekan peran dunia swasta. Ketika nilai-nilai budaya negatif yang berkembang maka sudah dapat dipastikan tidak hanya pembangunan ekonomi yang akan terhambat tetapi juga stabilitas sosial dan politik negara tersebut berpotensi akan terguncang.
 Tidaklah mengherankan ketika saat ini semua kalangan mencoba untuk selalu memperhatikan aset terbesar yang dimiliki yaitu manusia. Karakter dan budaya manusia menjadi sentralitas dalam memperkuat fondasi ekonomi di banyak negara. Human-capital merupakan aset yang paling berharga dan sulit untuk ditiru oleh pesaing. Training, workshop dan pelatihan di tingkat perusahaan menjadi salah satu strategi untuk membangun dan memupuk budaya organisasi positif yang mendorong kinerja perusahaan. Sementara di tingkat negara, instrumen jauh lebih banyak dan beragam dari mulai training, workshop, pelatihan, sosialisasi, penegakkan hukum, political dan good-will, kebijakan (policies), ketauladanan sampai dengan penghargaan negara akan kontribusi putera-puteri terbaik bangsa dan negara. Hal-hal tersebut diharapkan tidak hanya akan membentuk perilaku dan sikap baik individu maupun masyarakat tetapi juga menciptakan kesadaran, pikiran dan midset akan nilai-nilai dan karakter positif.
 Kesimpulan
 Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa budaya dan ekonomi berkaitan sangat erat dan tidak terpisahkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh sejumlah penelitian dan kajian yang baik secara konseptual maupun empirin menunjukkan arti penting budaya bagi perekonomian suatu negara atau kawasan. Misalnya saja, Putnam (1993) dan Fukuyama (1995) mengidentifikasi bahwa nilai-nilai budaya memainkan peranan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Tabellini (2010) dengan menggunakan data di negara-negara Eropa juga menunjukkan hubungan kausalitas antara nilai-nilai budaya dan pembangunan ekonomi. Altman (2001) menunjukkan efek nilai budaya berupa budaya-kerjasama meningkatkan output perekonomian suatu negara. Selanjutnya, pasokan tenaga kerja yang produktif yang sangat dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi suatu negara akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang menekankan kerja keras (Faria and Leon-Ledesma, 2004).
 Bagi Indonesia, sepertinya kita perlu mengidentifikasi sekaligus mengampanyekan nilai-nilai budaya unggul bangsa kita. Hal ini penting agar pembangunan ekonomi yang kita lakukan saat ini dapat berjalan secara optimal. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, disiplin, kerjasama, koordinasi, saling menghormati, toleransi, kerja keras dan pantang menyerah perlu terus diperkuat. Selain itu juga, kampanye akan nilai-nilai tersebut perlu terus dilakukan agar pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dapat berjalan lebih baik lagi.
Selama ini hambatan terbesar bangsa kita adalah adanya ego-sektoral yang seringkali menjadi penghambat kerjasama, koordinasi dan komunikai lintas sektoral. Padahal, di tengah persoalan bangsa dan negara yang semakin kompleks dan dinamis, nyaris tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan oleh hanya satu unit organisasi saja. Dibutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas-lembaga agar penyelesaian masalah menjadi komprehensif dan tidak tambal-sulam. Melalui semangat dan budaya-kolaboratif tentunya akan banyak hal yang bisa dicarikan solusi bersama.
Budaya-kolaboratif, di sisi lain, juga akan membantu persoalan mendasar dalam ekonomi yaitu keterbatasan sumber daya (ressources scarcity). Dengan semangat dan budaya-kolaboratif maka tematik tentang sinergi dan aliansi lintas-lembaga akan terjadi. Masing-masing lembaga dapat berkontribusi sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan sumber daya yang dimiliki. Selain itu juga, sumber daya yang bersifat komplemen dan saling melengkapi juga akan membuat ekonomi menjadi lebih efisien. Karena masing-masing unit atau lembaga tidak perlu melakukan investasi dan membangun sumber daya yang sama. Budaya-kolaboratif juga sesuai dengan karakter masyarakat kita yang bersifat Gotong-Royong untuk kepentingan bersama dan lebih luas. Sehingga, semangat dan budaya yang mendasari kebijakan dan aktivitas ekonomi tidak hanya bertumpu pada azas ‘the economics of competition’ saja tetapi juga ‘the economics of collaboration’.

 
Sumber: http://suluhnuswantarabakti.or.id/mengapa-budaya-penting-bagi-ekonomi-dps-12/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar