Usaha mencari faktor-faktor penentu
keberhasilan (determinant factors) pembangunan ekonomi suatu bangsa dan
negara telah lama menjadi fokus perhatian banyak kalangan. Sejumlah teori dan
pendekatan dikembangkan untuk menjawab pertanyaan kunci yaitu; ‘Mengapa ekonomi
suatu negara lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan negara lain?’.
Dimana turunan dari pertanyaan besar di atas adalah ‘Faktor apakah yang paling
determinant untuk menjelaskan keberhasilan dan kemajuan perekonomian suatau
negara?’. Dua pertanyaan tersebut telah menjadi pusat kajian, penelitian dan
perdebatan tidak hanya ekonom tetapi juga melibatkan sejumlah disiplin ilmu
non-ekonomi seperti sosiologi, antropologi, sejarah, ahli statistik, filsafat
dan bahkan ilmu budaya. Hal ini membuat kajian terkait hal ini tidak hanya
terfokus pada analisa faktor-faktor ekonomi (endogen) tetapi juga
melihat dampak dari faktor non-ekonomi (eksogen) terhadap tumbuh dan
berkembangnya aktivitas ekonomi di suatu negara.
Tulisan singkat ini bertujuan untuk
memberikan argumentasi dasar tentang pentingnya aspek non-ekonomi yaitu budaya
terhadap kinerja perekonomian suatau negara. Seperti kita ketahui bersama,
aktivitas ekonomi terjadi tidak di ruang hampa (vacuum) tetapi justeru
hadir dalam sebuah konteks, struktur dan sistem sosial bermasyarakat. Corak dan
jenis aktivitas ekonomi akan sangat tergantung bagaimana struktur dan sistem
yang berada di masyarakat. Bagaimana aktor-aktor ekonomi saling berinteraksi
akan sangat tergantung pada kualitas dan kapabilitas dari para aktor ekonomi.
Begitu juga tata aturan dan regulasi yang mengatur aktivitas ekonomi juga akan
sangat tergantung pada bagaimana kualitas pengambil kebijakan (policy-makers),
sistem nilai dan norma yang dianut, dan struktur kognitif masyarakat yang pada
akhirnya akan menentukan mana regulasi yang benar dan tidak. Selain itu,
aktivitas perekonomian juga akan sangat dipengaruhi oleh faktor endowment
tidak hanya yang fisik dan tangible tetapi juga yang non-fisik dalam
sistem nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat setempat.
Budaya sebagai konstruk penting yang
akan menentukan maju tidaknya sebuah sistem perekonomian. Tidak hanya
makro-ekonomi, di tingkat mikro-ekonomi terutama penelitian di level organisasi
perusahaan juga menempatkan budaya sebagai faktor kunci penentu kinerja dan
daya saing perusahaan. Sampai saat ini, terdapat banyak sekali dan bahkan tidak
terhitung jumlahnya akan publikasi dan seminar ilmiah yang mendokumentasikan
peran budaya terhadap kinerja perusahaan. Budaya yang mendorong munculnya
inovasi, kewirausahaan, kepemimpinan, kerjasama, koordinasi, customer-oriented,
dan merit-system menjadi beberapa contoh budaya yang secara signifikan
meningkatkan kinerja perusahaan baik di tingkat usaha mikro, kecil, menengah,
besar dan bahkan multinational company (MNC). Oleh karenanya, tidaklah
mengherankan apabila faktor budaya menjadi fokus perhatian dewasa ini untuk
menjadi faktor penting pendorong kemajuan perekonomian suatu bangsa dan negara.
Arti Penting Budaya
Gagasan pentingnya budaya (culture)
bagi maju dan berkembangnya perekonomian sesungguhnya bukanlah ide baru. Pada
awal-awal pemeikiran tentang ekonomi, aspek dan faktor budaya dianggap sangat
penting bagi ekonomi suatau negara. Misalnya, Weber (1904) melihat bahwa salah
satu komponen penting dalam budaya yaitu nilai-nilai religiusitas berperan
penting bagi akumulasi kapital[1].
Reformasi dan etika protestan sebagai gerakan tidak hanya keagamaan tetapi
penanaman nilai-nilai baru bagi masyarakat Eropa diyakini telah berkontribusi
dalam menjelaskan mengapa banyak negara Eropa mengalami kemajuan di bidang
ekonomi. Bahkan kalau kita telusuri tulisan klasik dari Adam Smith baik dalam
bukunya The Wealth of Nations (1776) maupun The Theory of Moral
Sentiments (1791) menyatakan bahwa nilai dan norma baik yang terdapat dalam
diri individu maupun masyarakat sangat memengaruhi perilaku ekonomi (economic
behaviour)[2].
Selain itu juga, kurang minatnya banyak
ekonom pada saat itu tentang aspek budaya sebagai faktor determinan penentu
keberhasilan pembangunan ekonomi juga dikarenakan pengertian dan definisi
budaya yang sangat beragam, luas dan kurang presisi (vague) (Guiso et
al., 2006). Selain itu juga, kesulitan metodologis dalam menentukan
hubungan sebab-akibat secara matematika-statistik juga menjelaskan mengapa
minat banyak ekonom berkurang dalam menganalisa busaya sebagai variabel
penjelas (explanatory variable) keberhasilan pembangunan ekonomi. Namun,
seiring dengan munculnya Asian Miracle diakhir tahun 1980-an, banyak kalangan
mencoba mempelejari kotribusi aspek budaya dalam menkelaskan keberhasilan
negara-negara Asia seperti Jepang, Taiwan, Singapura, Indonesia dan Filipina.
Gelombang peminatan akan kajian
budaya dan pengaruhnya terhadap perekonomian semakin menguat di dekade
setelahnya. Pada tahun 1990-an dan 2000-an muncul bidang peminatan baru untuk
menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonomi di sejumlah negara. Bidang
peminatan baru tersebut adalah aspek ‘kelembagaan’ (institution). Dimana
unsur penting dalam teori-teori institusi adalah aspek kebudayaan (culture)
(e.g., Guiso et al., 2006). Dalam persepektif dan teori kelembagaan menjelaskan
bahwa tingkat kematangan kelembagaan baik dalam hal ekonomi, politik, keamanan,
pendidikan dan kesehatan akan menentukan positif-tidaknya kinerja ekonomi suatu
negara. Dalam hal ini, keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan an-sich
oleh faktor-faktor endogeneous tetapi variabel eksogeneous juga menentukan
berhasil tidaknya pembangunan ekonomi suatu negara.
Ide tentang hal ini sebenarnya
bukanlah hal yang berkembang di tahun 1990-an. Jauh sebelumnya banyak ahli yang
sudah menyampaikan hal serupa. Misalnya Polanyi et al., (1957) telah
menyatakan bahwa ‘The human economy….is embedded and enmeshed in
institutions, economic and non-economic. The inclusion of noneconomic is vital’.
Aktivitas perekonomian terjadi dalam sebuah konteks besar sistem kelembagaan
masyarakat dan mustahil terisolasi darinya. Hal senada juga disampaikan oleh
Griffin (1999) yang menyatakan bahwa manusia tidak hidup dan bekerja sendirian
dan terisolasi. Mereka tersatukan oleh tatanan masyarakat baik ditingkat
keluarga, masyarakat, negara maupun dunia internasional. Mereka bekerjasama,
berkompetisi, berproduksi, berkomunikasi, bernegosiasi dan bertransaksi
didasari oleh sebuah sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang
terepresentasi oleh sistem kelembagaan.
Dalam hal ini, saya sependapat
dengan North (2005) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat
antara sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ dengan ‘institusi’ dalam sebuah
masyarakat. Dimana sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ merupakan
representasi internal dari pemahaman individu atau kelompok sosial akan suatu
hal. Sementara, ‘institusi’ merupakan bentuk fisiknya. Sehingga, bagaimana
institusi bekerja, berfungsi dan berkinerja akan sangat ditentukan oleh sistem
nilai, norma dan ‘belief-system’ yang ada dan diyakini kebenarannya oleh
masyarakat. Berfungsi secara baik atau tidaknya baik institusi ekonomi maupun
non-ekonomi akan sangat ditentukan oleh ketiga sistem nilai, norma dan
‘belief-system’ yang dianut oleh masyarakat atau suatu bangsa. Tata aturan,
prosedur, mekanisme dan regulasi yang dimiliki oleh ‘institusi’ sangat
dipengaruhi oleh sistem nilai, norma dan ‘belief-system’ yang diyakini dan
diannut baik oleh elit maupun pengambil kebijakan.
Dalam perspektif yang lain menyebutkan
bahwa sistem nilai, norma, dan ‘belief-system’ merupakan elemen penting bagi
dimensi ‘budaya’ (Keesing, 1974). ‘Belief’-system’ inilah yang akan menentukan
bagaimana masyarakat berpikir, bersikap dan bertindak yang pada akhirnya
menentukan segala hal yang disepakati dan dilakukan baik ditingkat individu
maupun kolektif-bermasyarakat[3].
Meminjam perspektif teori strukturasi Giddens (1984), kebiasaan dan perilaku
yang dianggap wajar dan normal pada akhirnya akan membentuk atau memperkuat
‘belief-system’ baik di tingkat individu maupun masyarakat. Bentuk-bentuk fisik
dari apa yang menjadi norma, nilai, dan tingkat-kepercayaan di masyarakat
itulah yang menjadi produk-produk budaya. Termasuk di dalamnya bentuk dan jenis
institusi yang harus hadir di masyarakat.
Nilai-nilai budaya yang di sejumlah
literatur dan penelitian empiris dapat meningkatkan kinerja ekonomi baik di
level individu, organisasi, perusahaan maupun negara antara lain adalah
kerja-keras, kejujuran, kerjasama, saling-percaya (mutual-trust) dan
saling menghormati. Nilai-nilai budaya tersebut juga berpengaruh terhadap
bagaimana keputusan produksi dan investasi, alokasi sumberdaya dalam sebuah
organisasi, inovasi teknologi dan perdagangan internasional. Selain itu juga,
nilai-nilai budaya juga dapat mempengaruhi bagaimana keputusan suatu negara
terhadap misalnya kebijakan kompetisi, subsidi, program-program sosial,
perpajakan, strategi pembangunan dan kebijakan makro-ekonomi lainnya. Banyak
sekali penelitian yang menunjukkan biaya transaksi (transaction-cost)
akan menjadi lebih murah apabila terdapat trust yang tinggi dalam masyarakat.
Hal ini membuat biaya produksi dalam rantai nilai produksi lebih murah dan
kompetitif yang menjadikan daya saing suatu bangsa relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan negara pesaing terdekat.
Selain itu juga, Landes (1998)
mengkaji ulang untuk menemukan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan
pembangunan ekonomi suatu bangsa-negara. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
faktor-faktor budaya merupakan aspek penting dan penentu maju dan mundurnya
ekonomi suatu negara. Sejumlah nilai-nilai budaya seperti hemat, kerja keras,
persistensi, kejujuran dan toleransi merupakan nilai-nilai budaya yang dapat
memajukan ekonomi suatu negara. Hal ini akan kontras ketika nilai-nilai budaya
negatif justeru yang berkembang adalah rasialisme, intoleransi, birokratis,
korupsi, dan penguatan negara (state) yang menekan peran dunia swasta.
Ketika nilai-nilai budaya negatif yang berkembang maka sudah dapat dipastikan
tidak hanya pembangunan ekonomi yang akan terhambat tetapi juga stabilitas
sosial dan politik negara tersebut berpotensi akan terguncang.
Tidaklah mengherankan ketika saat
ini semua kalangan mencoba untuk selalu memperhatikan aset terbesar yang
dimiliki yaitu manusia. Karakter dan budaya manusia menjadi sentralitas dalam
memperkuat fondasi ekonomi di banyak negara. Human-capital merupakan aset yang
paling berharga dan sulit untuk ditiru oleh pesaing. Training, workshop dan
pelatihan di tingkat perusahaan menjadi salah satu strategi untuk membangun dan
memupuk budaya organisasi positif yang mendorong kinerja perusahaan. Sementara
di tingkat negara, instrumen jauh lebih banyak dan beragam dari mulai training,
workshop, pelatihan, sosialisasi, penegakkan hukum, political dan good-will,
kebijakan (policies), ketauladanan sampai dengan penghargaan negara akan
kontribusi putera-puteri terbaik bangsa dan negara. Hal-hal tersebut diharapkan
tidak hanya akan membentuk perilaku dan sikap baik individu maupun masyarakat
tetapi juga menciptakan kesadaran, pikiran dan midset akan nilai-nilai dan
karakter positif.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas terlihat
jelas bahwa budaya dan ekonomi berkaitan sangat erat dan tidak terpisahkan. Hal
ini juga ditunjukkan oleh sejumlah penelitian dan kajian yang baik secara
konseptual maupun empirin menunjukkan arti penting budaya bagi perekonomian suatu
negara atau kawasan. Misalnya saja, Putnam (1993) dan Fukuyama (1995)
mengidentifikasi bahwa nilai-nilai budaya memainkan peranan sangat penting bagi
pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan dunia. Penelitian yang dilakukan
oleh Tabellini (2010) dengan menggunakan data di negara-negara Eropa juga
menunjukkan hubungan kausalitas antara nilai-nilai budaya dan pembangunan
ekonomi. Altman (2001) menunjukkan efek nilai budaya berupa budaya-kerjasama
meningkatkan output perekonomian suatu negara. Selanjutnya, pasokan tenaga
kerja yang produktif yang sangat dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi suatu negara
akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang menekankan kerja keras
(Faria and Leon-Ledesma, 2004).
Bagi Indonesia, sepertinya kita
perlu mengidentifikasi sekaligus mengampanyekan nilai-nilai budaya unggul
bangsa kita. Hal ini penting agar pembangunan ekonomi yang kita lakukan saat
ini dapat berjalan secara optimal. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong
royong, disiplin, kerjasama, koordinasi, saling menghormati, toleransi, kerja
keras dan pantang menyerah perlu terus diperkuat. Selain itu juga, kampanye
akan nilai-nilai tersebut perlu terus dilakukan agar pembangunan ekonomi yang
tengah berjalan dapat berjalan lebih baik lagi.
Selama ini hambatan terbesar bangsa kita
adalah adanya ego-sektoral yang seringkali menjadi penghambat kerjasama,
koordinasi dan komunikai lintas sektoral. Padahal, di tengah persoalan bangsa
dan negara yang semakin kompleks dan dinamis, nyaris tidak ada persoalan yang
bisa diselesaikan oleh hanya satu unit organisasi saja. Dibutuhkan kerjasama
dan koordinasi lintas-lembaga agar penyelesaian masalah menjadi komprehensif
dan tidak tambal-sulam. Melalui semangat dan budaya-kolaboratif tentunya akan
banyak hal yang bisa dicarikan solusi bersama.
Budaya-kolaboratif, di sisi lain, juga
akan membantu persoalan mendasar dalam ekonomi yaitu keterbatasan sumber daya (ressources
scarcity). Dengan semangat dan budaya-kolaboratif maka tematik tentang
sinergi dan aliansi lintas-lembaga akan terjadi. Masing-masing lembaga dapat
berkontribusi sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan sumber daya yang
dimiliki. Selain itu juga, sumber daya yang bersifat komplemen dan saling
melengkapi juga akan membuat ekonomi menjadi lebih efisien. Karena
masing-masing unit atau lembaga tidak perlu melakukan investasi dan membangun
sumber daya yang sama. Budaya-kolaboratif juga sesuai dengan karakter
masyarakat kita yang bersifat Gotong-Royong untuk kepentingan bersama dan lebih
luas. Sehingga, semangat dan budaya yang mendasari kebijakan dan aktivitas
ekonomi tidak hanya bertumpu pada azas ‘the economics of competition’
saja tetapi juga ‘the economics of collaboration’.
Sumber: http://suluhnuswantarabakti.or.id/mengapa-budaya-penting-bagi-ekonomi-dps-12/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar